Senin, 17 Maret 2014

Toga Nuansa Bumi Sriwijaya (Sumatera Selatan)

Sebelum mengupas lebih dalam mengenai Toga di tahun 2013 hingga saat ini, kami selaku kontributor blog ini memohon maaf apabila topik yang diangkat masih seputar toga dan toga. Hal ini dengan sengaja kami lakukan agar terdapat kesinambungan antar blog dan lebih mudah dalam pencarian maupun pengarsipan bahasan tentang toga. Jadi kami ingin pembaca tidak terpaku pada urutan kejadian melainkan lebih kepada topik bahasan meski kami tetap akan berusaha menampilkannya dalam urutan kronologis kejadian. 

I. Konsep/Tema Taman Toga

Pada awalnya cukup sulit untuk menentukan tema taman toga sejak konsep air laut sudah diubah menjadi lebih mendekati taman yang menggunakan foot steps (lihat Toga Kima Perubahan dari Masa ke Masa). Konsep awal yang identik dengan laut sulit digabungkan dengan konsep taman yang identik dengan tumbuhan hijau nan teduh namun berkat gagasan dari seluruh anggota ranting konsepnya pun disepakati diubah menjadi Bumi Sriwijaya. Mengapa? Berikut latar belakang dan alasannya:
  • dilatarbelakangi dengan semangat ingin mempertahankan model perahu yang unik muncul ide untuk mengidentikkan perahu sejenis dengan kapal dan kapal identik dengan Kerajaan Sriwijaya di Propinsi Sumatera Selatan.
  • mengedepankan identitas daerah dan ciri khas daerah. Terinspirasi dari Propinsi Lampung yang sangat menonjol dengan siger, gajah dan motif-motif tapis dalam setiap hal baik itu papan nama, gapura dan taman sehingga kami ingin membuat hal yang sama. Saat ide ini muncul di Propinsi Sumatera Selatan sendiri belum terlalu terlihat ciri khas daerah begitu memasuki wilayahnya. Inilah yang mendorong kami untuk menerapkan konsep Bumi Sriwijaya sehingga siapapun yang melihat taman toga kami langsung dapat mengetahui bahwa toga ini terletak di Sumatera Selatan.
  • ingin membuat inovasi dengan menggabungkan konsep laut dan taman. Selama ini konsep taman selalu identik dengan tanaman hijau dan kolam. Kenapa tidak jika kami ingin membuat sesuatu yang berbeda dengan mencoba mengetengahkan konsep gabungan laut dan taman ini. 
Setelah berhasil menentukan tema, ranting kami terus bergerak dengan mengacu kepada tema, yaitu Bumi Sriwijaya. Tema diterapkan baik pada bentuk gapura masuk taman, penggunaan bentuk perahu untuk tempat tumbuhnya toga, lukisan motif songket (kain khas Sumatera Selatan) pada perahu, papan nama toga motif songket, modifikasi saung/bale-bale nuansa Sriwijaya dan papan katalog Toga nuansa Sriwijaya. Foto-fotonya dapat dilihat berikut ini:


Gapura Masuk Taman Toga Nuansa Bumi Sriwijaya Ranting 1 Kima Tahun 2013


Gapura masuknya terinspirasi dari atap rumah limas (rumah adat Sumatera Selatan). Pada bagian puncak gapura terdapat hiasan kuncup bunga cempaka (simbar) dan di ujungnya ada hiasan lengkungan pendek ekor bebek ( http://id.wikipedia.org/wiki/Anjungan_Sumatera_Selatan).


Lukisan motif songket pada perahu (bagian depan)
Lukisan motif songket bagian belakang perahu

Lukisan perahu berlayar semakin menguatkan kesan Taman Toga bernuansa Bumi Sriwijaya
Kondisi perahu setelah dipugar semakin hidup dengan hadirnya lukisan bermotif songket dan kapal.

Papan nama toga bermotif songket
Papan nama toga yang ditancapkan di dekat masing-masing tanaman diperbaharui memakai banner dengan motif songket untuk mempermudah pemeliharaan.



Saung belakang taman yang dihiasi kain motif songket
Terinspirasi dari bale-bale atau gazeebo khas Bali, kami ingin mencoba menerapkannya dengan nuansa khas Sumatera Selatan. Tampak pada gambar di atas kain bermotif songket berwarna oranye muda dililitkan pada tiang saung serta yang berwarna oranye tua dibentuk bergelombang. 

Papan Nama Taman Toga dan Papan Katalog Toga

Papan nama taman toga terinspirasi dari mahkota atau hiasan kepala yang biasa dikenakan pengantin wanita Palembang Sumatera Selatan serta papan katalog toga berlatar belakang gambar Jembatan Ampera.


II. Klasifikasi Toga

Dari berbagai sumber yang kami temukan dan gali, ada beragam cara untuk mengklasifikasikan toga mulai dari bagian yang dimanfaatkannya (batang, daun, akar dan lainnya), jenis tanamannya (sayuran, bunga dan lainnya), hingga menurut khasiatnya dalam mengobati penyakit. 

Jika sebelum tahun 2013 penanaman toga tidak diatur menurut klasifikasinya, maka sejak tahun 2013 penanaman toga dibuat teratur. Klasifikasi yang kami ambil adalah menurut khasiatnya dalam mengobati penyakit. Hal ini kami lakukan sebagai tindak lanjut dari hasil lomba BKB antar Cabang yang diadakan pada Bulan Mei 2013. Selain itu, sepengetahuan kami belum ada klasifikasi baku mengenai taman toga. Pada hakekatnya justru taman itu harus rapi dan teratur, lain halnya dengan kebun. Inilah letak perbedaan taman dengan kebun. Penyakit kami bagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu: penyakit ringan/sedang dan penyakit berat. Penyakit berat yang kami maksud disini adalah penyakit-penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. 

Toga yang berkhasiat mengobati penyakit ringan hingga sedang kami kelompokkan di 2 perahu paling kiri sedangkan 2 perahu paling kanan untuk jenis-jenis toga yang berkhasiat mengobati penyakit berat. Namun ada kalanya kami menemui kendala, yaitu toga yang sudah tumbuh besar dan berakar cukup kuat sangat sulit untuk dipindahkan dan beresiko layu hingga mati. Untuk itu ada beberapa toga yang kami kategorikan sebagai pengecualian. Selain itu, klasifikasi ini kami pandang tepat untuk diterapkan di taman toga kami dengan tujuan untuk meminimalisir resiko toga menjadi layu/mati karena dipindah-pindah. Sempat terpikir untuk membuat kelompok berdasarkan jenis tanamannya namun karena konsep awal tidak mendukung pengelompokkan seperti ini maka kami menghindari memakai konsep pengelompokkan berdasarkan jenis tanaman melainkan berdasarkan fungsinya dalam mengobati penyakit. 

III. Jenis Toga

Toga yang ada di Indonesia sangat banyak jumlahnya. Kami merasa tertantang untuk menghadirkan beragam jenis toga yang sangat banyak tersebut di dalam sebuah taman yang ukurannya cukup mungil. Konsep toga sendiri sebenarnya adalah tanaman obat keluarga. Artinya, setiap keluarga diharapkan mampu mengoptimalkan pekarangannya untuk menanam tanaman yang bekhasiat obat. Jika sudah berbicara pekarangan, tentunya jaman sekarang ini sangat sulit ditemui rumah dengan pekarangan yang sangat luas. Berangkat dari konsep toga yang demikian maka kami berasumsi bahwa yang dipentingkan dari sebuah taman toga justru bukan keindahan maupun luasnya namun jumlah toga yang ada yang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat secara luas dan khususnya para anggota ranting 1 kima.

Menyikapi hal tersebut, kami memutuskan untuk menanam berbagai jenis toga mulai dari sayuran, bumbu dapur, tumbuhan liar, tumbuhan langka, buah-buahan hingga bunga. Salah satu tumbuhan langka yang kami miliki adalah Buni Keraton. Bibit ini kami dapatkan dari sebuah nursery di Kota Prabumulih Propinsi Sumatera Selatan yang membeli bibitnya langsung dari Taman Buah dan Bunga Mekarsari di Bogor Propinsi Jawa Barat. Menurut pemilik nursery, Buni Keraton ini langka karena hanya ada di Keraton Yogyakarta dan jumlahnya pun sangat terbatas.

Kendala yang dihadapi adalah toga tidak hanya berupa tanaman kecil melainkan juga pohon-pohon besar yang akarnya bisa merusak tanaman lain. Hal itu membuat kami tidak bisa memasukkan pohon beringin, katapang atau pohon-pohon pelindung lainnya di dalam toga. Akan tetapi, pohon pelindung yang memang telah ada diluar pagar taman tetap dipertahankan. 

Masih menyinggung soal jenis toga, kami menemukan bahwa tidak semua toga dapat dengan mudah tumbuh di daerah kami yang cuacanya panas. Dari situlah kami kembali tertantang untuk dapat menghadirkan berbagai jenis toga yang lebih mudah tumbuh di daerah dengan cuaca dingin seperti selada/lettuce, caisin, strawberry dan lainnya sehingga dapat tumbuh dan lebih mudah dijangkau untuk dimanfaatkan oleh seluruh anggota ranting. Bagai gayung bersambut, gagasan kami mendapat jalan dengan hasil penelusuran kami ke daerah-daerah sekitar tentang metode menanam yang tergolong baru, yaitu hidroponik tanpa rumah kaca (green house). Metode ini terkenal jauh lebih hemat biaya dibandingkan hidroponik rumah kaca. Hemat biaya ternyata bukan satu-satunya, hemat tenaga juga ternyata jadi faktor pendukung metode ini semakin berkembang pesat. Hemat tenaga karena mempersingkat waktu penyiraman dan pemupukan tanaman. Khusus hidroponik metode ini, pemupukan diganti istilahnya menjadi nutrisi. Nutrisinya pun berbentuk cairan sehingga sangat mudah untuk disebarkan ke seluruh tanaman yang ditanam dengan metode ini. Menarik bukan? 

Hidroponik low budget (begitu kami sering menyebutnya)  berhasil kami terapkan sejak saat itu. Cerita lengkapnya di blog berikutnya yaaa...


IV. Faktor Pendukung Toga

Kelengkapan faktor pendukung toga seperti saung dan kolam diharapkan dapat menambah keindahan taman toga. Kolam yang semula berukuran sangat mungil kemudian diperbesar untuk menonjolkan kesan bahwa kolam juga memegang peranan penting dalam taman dan bukan sekedar pelengkap. Kolam dapat menandakan simbiosis mutualisme dari makhluk hidup. Kolam yang sehat berisi ikan-ikan yang sehat menandakan kualitas air yang baik sehingga tanaman toga pun dapat tumbuh dengan subur. 
Kolam yang telah diperbesar
Setelah puas cuap-cuap, baiknya kita lihat sekilas deh ya gimana kondisi setelah dipugar.

Tahap akhir pemugaran taman toga ranting 1 kima tahun 2013

Baiklah para blogger, saatnya kami undur diri dulu sebelum kerut-kerut pertanda bosan Anda muncul hehehe...

Sampai jumpa di blog selanjutnya. 

Salam hangat!

Tidak ada komentar: